6.10.2017

Nasionalisme?

Halo! Sudah lama tidak berjumpa ya~

Setelah sekian lama tidak menulis akhirnya punya dorongan untuk menulis lagi. Kali ini temanya tentang NASIONALISME.

Apa sih nasionalisme itu?

Mengacu dari KBBI Daring, NASIONALISME adalah:
1. paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan;
2. kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.

Dari pengertian di atas mungkin kita sudah dapat simpulkan bahwa kegiatan yang berkenaan dengan afirmasi status kebangsaan dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan yang memiliki  semangat nasionalisme.

Pertanyaanya sekarang adalah kenapa seorang individu ingin meningkatkan nasionalismenya? Kenapa ada individu yang memiliki nasionalisme tinggi? Apakah ada seorang individu yang tidak memiliki rasa nasionalisme? Kenapa rasa nasionalisme rendah? Kenapa rasa nasionalisme itu penting? Dan masih banyak pertanyaan lainnya. Untuk memulai, saya akan membahas sudut pandang saya terkait nasionalisme.

Saya selalu percaya bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan untuk berpegang teguh pada suatu hal yang stabil. Hal ini dikarenakan manusia dengan dinamika kehidupannya kadang membuat mereka lelah dan terombang-ambing. Itulah sebabnya seorang manusia akhirnya memutuskan untuk memiliki prinsip atau memeluk sebuah agama. Ya, saya yakini bahwa agama dipeluk karena adanya kebutuhan bukan karena adanya paksaan. Manusia ini pada akhirnya juga memilih untuk menginternalisasi undang-undang, aturan-aturan, dan hal lain yang dapat membuatnya stabil dan fokus. Kebutuhan manusia untuk menjalani hidup yang stabil dan tenteram ini pula yang membawa mereka pada nasionalisme.

Saya harap penjelasan saya ini cukup masuk akal untuk anda.

Sebuah negara atau sebuah bangsa menawarkan adanya perlindungan, menawarkan sebuah 'rumah' yang mana dicari oleh para manusia, petualang kehidupan. Negara yang baik dan berpihak kepada warganya tentu melakukan banyak pengorbanan deminya. Kemudian manusia yang merasakan pengorbanan tersebut mulai menyimpulkan bahwa negara atau bangsa dimana ia bergabung telah memberikan andil dalam ketenteraman hidupnya. Inilah awal mulanya rasa nasionalisme. Jikalau memang berat dibahasakan mohon ampuni, akan tetapi istilah hutang budi lah yang menjunjung nasionalisme hingga ke awan-awan. Selayaknya kekasih yang jatuh hati jika pengorbanan untuknya sepenuh hati, maka hati jiwa pikiran akan menjadi miliknya selalu. Ku rasa, ini konsep yang serupa dengan dasar nasionalisme.

Rasa hutang budi hanya muncul jikalau seorang merasakan betul manfaat pengorbanan untuk dirinya. Rasa hutang budi mungkin tak muncul karena kebaikan negeri ini tak langsung menyentuh dirinya. Sekiranya ada banyak kemungkinan kenapa nasionalisme tidak muncul sebagaimana manusia sudah sewajarnya sulit untuk dipuaskan. Benar memang ajaran agama, untuk merasa cukup atas segala sesuatunya. Karena hanya dengan rasa cukup itulah maka ada rasa syukur dan terima kasih. Bagi saya inilah perbedaan antara mereka yang hidup dengan kesadaran nasionalisme dan yang hidup tanpa kesadaran nasionalisme.

Tapi, ku juga yakin nasionalisme tidak selalu tentang rasa hutang budi terhadap negara, akan tetapi sesederhana karena rasa terima kasih. Ini sudah kusinggung sebelumnya bahwa seorang memilih untuk berterima kasih dan bersyukur karena adanya kebajikan yang ditujukan kepadanya. Kebajikan ini tidak harus selalu tentang pertolongan, tetapi juga tentang kebaikan fisik yang dimiliki sehingga dapat dinikmati. Kenikmatan yang diberikan, menenangkan di antara kepelikan dan dinamika kehidupan, ini yang mungkin memunculkan nasionalisme. Atas kebajikan alam yang dimiliki oleh bangsa atau negara, seperti tumbuhnya pohon rindang di tengah padang rumput gersang, aliran sungai yang menenangkan di antara udara panas, maupun udara hangat di antara kebekuan hati. Segala sesuatu yang dimiliki yang tanpa harus berbuat namun sudah mengobati. Dimulai dari rasa perlu melindungi negeri, mungkin secara sederhana untuk diri sendiri agar bisa terus menikmati, maka bisa jadi muncul nasionalisme.

Bahwa kini, bukan lagi saya sebagai manusia di dalam negara atau bangsa yang patut menerima kemurahan hati empunya umah. Bahwa kini, saatnya saya sebagai manusia membalas budi dan berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan. Maka saya persembahkan nasionalisme yang saya punyai. Entah dalam bentuk pujian, kebijakan, kearifan, maupun perlakuan yang menegaskan bahwa atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada saya, maka saat itulah saya diberkati sebagai bagian. Dan kini saya persembahkan kecintaan saya ke haribaan pertiwi.

---

Kini izinkan saya menceritakan pengalaman saya sendiri terkait nasionalisme.



Unconditional Love: Indonesia

Suatu masa di penghujung Agustus, saya melakukan perjalanan menuju kampung halaman di Jawa Tengah. Di dalam perjalanan, radio adalah pelipur jenuh selama perjalanan. Di tengah sisa keriaan hari jadi negara Indonesia masih ada beberapa radio yang memutarkan lagu nasional. Saat itu, salah satu radio memutarkan lagu Indonesia Raya. Dan entah bagaimana bisa, saya meneteskan air mata pertama untuk lagu tersebut. Sembari memandang jendela dan menyelami pemandangan yang tersaji, saya mulai memahami makna yang ada di dalam lagu tersebut. Hati bergetar dan bulu kuduk meremang. Kali pertama peak experience untuk negeri ini. Nampaknya, perjalanan di penghujung agustus tersebut menjadi titik balik nasionalisme saya. Lahir dan besar di negara ini membuat saya sedikit banyak menelan kekayaan yang dimilikinya. Saya sudah mendarah daging. Lalu dari tetesan pertama muncul lah tetesan yang berikutnya. Pendalaman saya menjadi berbeda di tiap lagu tersebut. Saya mulai merefleksikan apapun yang saya pernah alami selama hidup. Mulai semenjak saya lahir hingga sekarang Indonesia selalu pantas untuk dicintai, dibanggakan, dan diperjuangkan.

Indonesia muncul sebagai entitas tersendiri yang lepas dari persoalannya. Bukan begitu ketika mencintai orang secara membabi buta? Hilang sudah semua cela. Ayah saya, Ibu saya, Kakek saya, Nenek saya, tak pernah alpa untuk mengisahkan kemesraannya dengan bumi Indonesia. Betapa seluruh hal yang berdiri dan hidup di atas negeri ini telah menjadikannya sebagai tempat dengan kenangan terindah. Saya belajar untuk mulai memahami itu semua dengan pendalaman yang saya miliki. Kemudian mulai mendalami lagi dari mereka yang sudah merasakan Indonesia secara (hampir) keseluruhan. Melihat mereka pun berubah menjadi seorang yang tidak sepenuhnya baru, namun pada akhirnya tersadarkan akan kecintaan mereka terhadap Indonesia. Kini mereka tersadar betapa penuh cinta mereka pada negeri ini, bangsa ini. Pula dengan diriku. Jika ada pertanyaan mengapa maka dengan percaya diri saya akan bilang,

“Kini tidak pernah ada alasan spesifik untuk mencintai Indonesia. Saya hanya mencintainya saja. Karena memang seharusnya begitu dan memang ia sepantasnya dicintai. Tak perlu syarat. Hingga tak ada pula syarat untuk tidak mencintainya”

Ya, Indonesia pantas dicintai. Indonesia pantas dibanggakan. Indonesia pantas pula diperjuangkan. Bukan hanya satu, tapi ribuan atau mungkin ratusan ribu jiwa sudah berkorban demi negeri ini. Saya rasa memalukan bagi yang masih hidup untuk tenang saja tanpa mencoba merawat apa yang sudah diperjuangkan. Saya generasi muda, saya cinta Indonesia. Saya generasi muda, saya punya jiwa nasionalisme. Dan saya tidak malu sama sekali. 

Saya pernah melangkah begitu mantap. Memiliki pandangan yang jelas tentang jalan yang ada di depan. Tentang bagaimana andil saya dalam tubuh Indonesia ini. Kini, dengan segala yang sudah dan sedang terjadi, langkah itu semakin lemah dan pelan. Degup kebangsaan ini semakin tak keruan. Linglung. Entah mau dibawa kemana aliran energinya. Seperti melihat kelambu hitam setelah berjalan di titian cahaya. Cita-cita saya yang tadinya begitu jelas kini menjadi semakin kabur. Pula semakin berat dirasa untuk dijinjing. Kalut tak habis menyelimuti. Mau diapakan mimpi ini? Mau dibagaimanakan negeri ini?

Kemudian datanglah pertengahan tahun 2017, di penghujung bulan Mei, saya seperti kembali berjalan di antara titian cahaya. Seperti kembali menghirup harapan baru. Tentang masa depan ku bersama negeri ini. Tentang mimpi untuk negeri ini. Bahwa bagaimanapun kondisinya, cinta tidak akan pernah hilang. Dan memilih untuk mewujudkan cinta adalah pilihan terbaik untuk terus menghidupkan mimpi. Mimpi besar untuk negeri ini. Bahwa jika masih ingin berjalan maka satu-satunya pilihan adalah lakukan apapun yang terbaik yang bisa dilakukan untuk negeri ini. Karena seharusnya saya tenang, saya tidak sendirian. Masih banyak yang ingin berjuang, atas nama Pancasila dan Indonesia.

Bagaimana bisa? Inilah cara Tuhan bekerja yang tak perlu kau singgung bagaimana bisa. Ia pertemukan saya pada ciptanNya yang lain. Yang tak lain adalah orang-orang terdekat saya. Yang masih mempunyai cinta dan harapan bagi negeri ini. Lewat sumbang pikir mereka, titian cahaya itu kembali terang. Perlahan tetapi pasti. Tuhan tengah bekerja menempa saya menjadi kaki atau mungkin tangan atau mungkin kepala dari negeri elok ini. Dan saya siap untuk itu. 


NB: Tulisan ini merupakan gabungan dari dua tulisan terpisah. Bagian pertama di tulis awal 2017 dan bagian kedua di tulis medio 2017. Entah bagaimana keduanya bersahutan dalam nafas yang sama. Jadi, saya gabungkan sekarang. Bahagian kedua awalnya diperuntukkan Hari Jadi Pancasila pada 1 Juni yang lalu. Ini tulisan pertama saya yang 'serius'. Selamat menikmati. Mohon maaf kalau masih ada yang belum akurat dan kurang ;)

9.20.2016

There are many things in my head. It just cant get out it stuck in my mind. I have a lot to say but I feel like I lose my power to think and speak clearly. In recent years, Ive been thinking about life. about a good good life. about a good good life. I insist an authentic happiness. Can I get it from life? Lately I thought life is not easy. Sometimes make me ssooooooo powerless.. Ohhhh can we be happy with a more simple way to live a life. Can we be happy with a more simple definition of happiness and life with peace itself.. All I want is to be happy authentically. In past years, I've learned that if we make someone else happy and then your happiness will happen continously. It's like it's like a vicarious moment in my life. Someone's happiness is mine. And I hope my happiness can be someone's too. That is why I am trying so hard to spread the happiness so people can feel it too.. I want to share I want to share. I want to share. I want to share.  I dont feel like a poor everytime I share my happiness.. I dont feel like a poor everytime I share positivity. I singing out my mind. I am singing out my mind right now right now right then right then. I am singing out what have been a conflict in my mind. So let me sing it out my mind..


p.s: This post I wrote spontaneously while sing every words. Many things happened in my mind lately. I can't handle it. All I can do is flight. I remember all the good memories to avoid the thinking. Mostly about fear of life. Not that I consider to end my life but it feels more like I loose faith in my own dream. I fear for the uncertainty. I fear for the complexity. As simple as I want to marry this guy but my parents don't like him or afraid I won't be happy with him, to be precise. I love this guy but I know my parents are right. WHAT A DILEMMA! I faced so many dilemma lately. Everything just seems blurred. I don't know why. Like fog get in my way. So, please, let me post this. This one of my tension release tricks. So, I sing my mind out.

Yeah. I do feel better.

12.08.2015

DINI HARI. ANTARA INSOM. KEBANYAKAN PIKIRAN. DAN KEBANYAKAN TUGAS. WK.

*sigh* *deep sigh*

So, apa kabar blog? Biarkan gue menjelaskan kondisi gue terkini lebih dahulu.

Mahasiswa semester 7.
Dengan beban akademis sebesar 15 sks.
Terdiri dari 3 mata kuliah wajib dan 1 mata kuliah pilihan.
Total, ada 5 tugas yang harus diselesaikan minggu ini untuk mulai 3 ujian komprehensif minggu depan.
Iya, 1 tugas sudah dibantai kemarin pagi.
Satu tugas dibantai minggu lalu.
Dan satu tugas yang tampaknya nyaris bertahan.
Dan satu tugas gak penting tapi bermanfaat untuk mengangkat nilai.
Baru saja baca blog terdahulu dan paham sepaham-pahamnya bahwa si penulis manusia ter-naif yang pernah diamini oleh penulis sendiri.
Tapi sadar juga, I lost my positivity lately. Unggahan masa lalu membuatku merasa butuh angin penyegar dan penyemangat di antara padang pasir yang kering ini.
Ya, kembali mengeluh.

Sebenernya gatau sih, mengeluh hal yang baik atau nggak tapi akhir-akhir ini itulah yang sering gue lakukan. I wasn't such people. I always have positivity in my life. Optimistic one. Positive thinker, if I may show it off. Emang sih cuma tinggal 3 mata kuliah wajib, tapi kok malah tambah berat yah? Kok makin sulit yah? Kok makin susah yah dijalaninya? Kok makin membuktikan gue gak berkembang yah? Asli. Gue takut kejadian gagal pas jaman SD ke SMP dan SMP ke SMA keulang lagi. Ya, maksudnya gagal adalah gabisa mencapai target yang sudah dipasang paling tinggi. Kadang takut Tuhan hanya memberikan gue kesempatan masuk UI hanya sebagai bonus dan bukan sebagai apa yang memang pantas gue dapatkan berdasarkan kemampuan gue. Paham gak? Ya intinya gitu. Gue ngerasa bego banget akhir-akhir ini. Kayak, banyak banget hal yang menyadarkan gue bahwa ilmu gue belum banyak untuk bisa mengejar cita-cita gue (ya mungkin) untuk jadi psikolog dan (harus insyaAllah diwujudkan) untuk kuliah S2. Kebalik yah susunannya? SS2 dulu baru psikolog. Ya udah intinya gitu. Apasih. Kayak kalo gue boleh melakukan asesmen terhadap diri gue sendiri dan melakukan diagnosa terhadap diri sendiri, gue tau mau tempatkan kemampuan intelegensi dan daya kognitif gue ada dimana. Kayak laporan-laporan psikologis yang suka gue kerjain. Yang kadang gue komenin, nih orang kok bego banget sih, Tapi kayaknya itu kejadian di gue sih.

"Sdri. Sekar Citra Ningrum memiliki kapasitas berpikir yang memadai untuk permasalahan yang bersifat sederhana. Namun, ia butuh wkatu yang lebih lama untuk memahami sebuah fenomena ataupun informasi yang lebih kompleks".

Intinya gak bego-bego amat, tapi gak cukup pinter juga. Disaat gue ngetik kalimat barusan gue kepikiran. "Jir, gue tuh pinter asli. Gue gak mungkin gak pinter. Sebenernya apa yang udah diomongin sama dosen, pembantaian2 itu sudah ada di otak lo. Kalian punya pengetahuan dan cara berpikir yang sama. Bedanya, mereka tau mengorganisirnya, lo nggak". Pembelaan yang lain, yang gapapa juga sih. Intinya adalah sebenernya gue tau salah gue dimana, Gue sedikit banyak tau apa yang harus gue perbaiki. Tapi ya itu, kok malesnya gede banget sih bro? Gak nanggung2. Buktinya sekarang gue lebih milih ngetik ginian ketimbang tugas. *Ngomong sama diri sendiri* Ya intinya gitu, dari tadi gue ngmgnya gitu.

Sebenernya gue gapunya objektif apa-apa nulis blog ini. Sesederhana kangen nulis yang bebas kayak gini gapake APA APA-an. Kangen dan kebetulan punya uneg-uneg yang ingin dibrutalkan lewat kata-kata.wkwkk. Bisa lihat kan betapa tidak positifnya gue sekarang? Kalo kemaren2 sih gue bisa menyemangati diri sendiri setelah ngeluarin uneg-uneg. Positive thinking lah minimal. Tapi sekarang susah. Yang ada malah ketakutan2. Sesederhana takut gue bakal lulus atau nggak. HARUS LULUS LAH GILAKALI. Tapi takut wajar dong... Yaiyalah.. Percaya sama gue itu wajar. Sesederhana gue bakal bisa mencapai apa yang gue impikan gak yah? GUE MAU BIKIN SEKOLAH WOY! Lah? Mau bikin sekolah emang bisa pake otot doang? Otak juga woy. Maaf kalo kata-kata di post ini banyak yang gak disaring atau terkesan offensive. Atau memang offensive.

Disini gue belajar, sekali lagi gue belajar, bahwa hidup berputar dan orang berubah. Banyak yang bilang gue udah gak seceria dulu. Ya mungkin karena sekarang gue sedikit banyak lebih realistis dan kemakan tuntutan sosial. Gue jadi gak ceria. Gak bebas kayak saat gue masih sangat erat dengan idealisme gue. Dan gue yakin ini lah hidup yang sebenarnya. Kala realitas mulai memakan idealisme lo. Bagaimana cara mencegah idealisme kita gak mati? Gue nanya beneran karena gue gatau. Ketakutan gue akan kehilangan idealisme ini juga yang membuat gue gelisah dan menjadi tak terarah. Kayak kapal yang keilangan peta atau kompasnya gitu.

Jujur akhir-akhir ini gue sering merasa iri sama orang-orang yang masih bisa terus untuk menjadi dirinya sendiri. Tetap pada idealismenya. Anjir. Mereka kok bisa sih? Apa kabar sosial? Mungkin mereka persetan dengan itu. Gue rindu sama diri gue sendiri rasanya. Yang berjalan tanpa harus peduli sama apa kata orang. Yang terus jadi diri sendiri persetan apa kata orang. Gue capek juga sih sama sosial. Maksudnya, capek dengan kebiasaan mereka yang membuat gue akhirnya membandingkan diri gue ke orang lain. Terus menerus.

Dari sini gue belajar, bahwa ini lah hidup yang benerannya. Gue ga yakin ada orang yang bisa melewatinya mulus-mulus aja. Mereka pasti perang. Memperjuangkan idealisme tanpa mengesampingkan realitas dimana kita hidup. Sebenernya dikit banyak gue tau gimana caranya untuk menyeimbangkan tuntutan sosial dan memenangkan idealisme. Masalahnya sekarang adalah gue mulai gak yakin untuk menghadapinya. Gue takut kalo nanti gue mulai gue gabisa berhenti untuk terus mengabdi pada maunya orang. No.Tapi masih takut sih. Belum nyobain langsung wkwk.

Ibarat kata nih yah, kehidupan lagi menelanjangi dirinya yang gak cakep2 amat sama gue secara perlahan-lahan. Tapi keberanian untuk menerima apapun sih yang bisa bikin orang terus bertahan menurut gue. Ini sih yang masih gue coba gali lagi dari diri gue sendiri. Bisa gak sih gue menjalani ini? Mampu gak sih gue? ANJING BANGET SIH KALO GUE GABISA. I MEAN, YOU WANT THESE SHITS EAT THEIR OWN SHIT RIGHT? THEN JUST DO IT, SWEETIE WAFFLE.

Yeah, I boost my own mood now. Gue mau si tai-tai penghalang gue mencapai impian terbesar gue untuk memakan tai mereka sendiri. Tai makan tai. Tai-ception. Meta-tai. Hahahahaha. Sumpah gue gak nyangka gue jadi se-sarkas ini setelah ditempa sekian tahun kuliah. HAHA. Hidup Mahasiswa!

Kay, 15 more minutes to 3 a.m. Gue harus tidur sebelum pagi jam 9 nanti kembali ketemu salah satu kaki tangannya tai. I should handle it. Before I'm into the real shits. Yeah, one thing I should always remember is Allah always there for people who struggling.

Salam,
Mahasiswa Kacrut.
Apasih. WK.
*and while I post this blog, someone take one step further than me*
*and by mentioning "tai" here I'm not trying to judge or insult anybody*