Setelah sekian lama tidak menulis akhirnya punya dorongan untuk menulis lagi. Kali ini temanya tentang NASIONALISME.
Apa sih nasionalisme itu?
Mengacu dari KBBI Daring, NASIONALISME adalah:
1. paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan;
2. kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.
Dari pengertian di atas mungkin kita sudah dapat simpulkan bahwa kegiatan yang berkenaan dengan afirmasi status kebangsaan dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan yang memiliki semangat nasionalisme.
Pertanyaanya sekarang adalah kenapa seorang individu ingin meningkatkan nasionalismenya? Kenapa ada individu yang memiliki nasionalisme tinggi? Apakah ada seorang individu yang tidak memiliki rasa nasionalisme? Kenapa rasa nasionalisme rendah? Kenapa rasa nasionalisme itu penting? Dan masih banyak pertanyaan lainnya. Untuk memulai, saya akan membahas sudut pandang saya terkait nasionalisme.
Saya selalu percaya bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan untuk berpegang teguh pada suatu hal yang stabil. Hal ini dikarenakan manusia dengan dinamika kehidupannya kadang membuat mereka lelah dan terombang-ambing. Itulah sebabnya seorang manusia akhirnya memutuskan untuk memiliki prinsip atau memeluk sebuah agama. Ya, saya yakini bahwa agama dipeluk karena adanya kebutuhan bukan karena adanya paksaan. Manusia ini pada akhirnya juga memilih untuk menginternalisasi undang-undang, aturan-aturan, dan hal lain yang dapat membuatnya stabil dan fokus. Kebutuhan manusia untuk menjalani hidup yang stabil dan tenteram ini pula yang membawa mereka pada nasionalisme.
Saya harap penjelasan saya ini cukup masuk akal untuk anda.
Sebuah negara atau sebuah bangsa menawarkan adanya perlindungan, menawarkan sebuah 'rumah' yang mana dicari oleh para manusia, petualang kehidupan. Negara yang baik dan berpihak kepada warganya tentu melakukan banyak pengorbanan deminya. Kemudian manusia yang merasakan pengorbanan tersebut mulai menyimpulkan bahwa negara atau bangsa dimana ia bergabung telah memberikan andil dalam ketenteraman hidupnya. Inilah awal mulanya rasa nasionalisme. Jikalau memang berat dibahasakan mohon ampuni, akan tetapi istilah hutang budi lah yang menjunjung nasionalisme hingga ke awan-awan. Selayaknya kekasih yang jatuh hati jika pengorbanan untuknya sepenuh hati, maka hati jiwa pikiran akan menjadi miliknya selalu. Ku rasa, ini konsep yang serupa dengan dasar nasionalisme.
Rasa hutang budi hanya muncul jikalau seorang merasakan betul manfaat pengorbanan untuk dirinya. Rasa hutang budi mungkin tak muncul karena kebaikan negeri ini tak langsung menyentuh dirinya. Sekiranya ada banyak kemungkinan kenapa nasionalisme tidak muncul sebagaimana manusia sudah sewajarnya sulit untuk dipuaskan. Benar memang ajaran agama, untuk merasa cukup atas segala sesuatunya. Karena hanya dengan rasa cukup itulah maka ada rasa syukur dan terima kasih. Bagi saya inilah perbedaan antara mereka yang hidup dengan kesadaran nasionalisme dan yang hidup tanpa kesadaran nasionalisme.
Tapi, ku juga yakin nasionalisme tidak selalu tentang rasa hutang budi terhadap negara, akan tetapi sesederhana karena rasa terima kasih. Ini sudah kusinggung sebelumnya bahwa seorang memilih untuk berterima kasih dan bersyukur karena adanya kebajikan yang ditujukan kepadanya. Kebajikan ini tidak harus selalu tentang pertolongan, tetapi juga tentang kebaikan fisik yang dimiliki sehingga dapat dinikmati. Kenikmatan yang diberikan, menenangkan di antara kepelikan dan dinamika kehidupan, ini yang mungkin memunculkan nasionalisme. Atas kebajikan alam yang dimiliki oleh bangsa atau negara, seperti tumbuhnya pohon rindang di tengah padang rumput gersang, aliran sungai yang menenangkan di antara udara panas, maupun udara hangat di antara kebekuan hati. Segala sesuatu yang dimiliki yang tanpa harus berbuat namun sudah mengobati. Dimulai dari rasa perlu melindungi negeri, mungkin secara sederhana untuk diri sendiri agar bisa terus menikmati, maka bisa jadi muncul nasionalisme.
Bahwa kini, bukan lagi saya sebagai manusia di dalam negara atau bangsa yang patut menerima kemurahan hati empunya umah. Bahwa kini, saatnya saya sebagai manusia membalas budi dan berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan. Maka saya persembahkan nasionalisme yang saya punyai. Entah dalam bentuk pujian, kebijakan, kearifan, maupun perlakuan yang menegaskan bahwa atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada saya, maka saat itulah saya diberkati sebagai bagian. Dan kini saya persembahkan kecintaan saya ke haribaan pertiwi.
---
Kini izinkan saya menceritakan pengalaman saya sendiri terkait nasionalisme.
Unconditional Love: Indonesia
Suatu masa di penghujung Agustus, saya melakukan perjalanan
menuju kampung halaman di Jawa Tengah. Di dalam perjalanan, radio adalah
pelipur jenuh selama perjalanan. Di tengah sisa keriaan hari jadi negara
Indonesia masih ada beberapa radio yang memutarkan lagu nasional. Saat itu,
salah satu radio memutarkan lagu Indonesia Raya. Dan entah bagaimana bisa, saya
meneteskan air mata pertama untuk lagu tersebut. Sembari memandang jendela dan
menyelami pemandangan yang tersaji, saya mulai memahami makna yang ada di dalam
lagu tersebut. Hati bergetar dan bulu kuduk meremang. Kali pertama peak
experience untuk negeri ini. Nampaknya, perjalanan di penghujung agustus
tersebut menjadi titik balik nasionalisme saya. Lahir dan besar di negara ini
membuat saya sedikit banyak menelan kekayaan yang dimilikinya. Saya sudah
mendarah daging. Lalu dari tetesan pertama muncul lah tetesan yang berikutnya.
Pendalaman saya menjadi berbeda di tiap lagu tersebut. Saya mulai merefleksikan
apapun yang saya pernah alami selama hidup. Mulai semenjak saya lahir hingga
sekarang Indonesia selalu pantas untuk dicintai, dibanggakan, dan
diperjuangkan.
Indonesia muncul sebagai entitas tersendiri yang lepas dari
persoalannya. Bukan begitu ketika mencintai orang secara membabi buta? Hilang
sudah semua cela. Ayah saya, Ibu saya, Kakek saya, Nenek saya, tak pernah alpa
untuk mengisahkan kemesraannya dengan bumi Indonesia. Betapa seluruh hal yang
berdiri dan hidup di atas negeri ini telah menjadikannya sebagai tempat dengan
kenangan terindah. Saya belajar untuk mulai memahami itu semua dengan
pendalaman yang saya miliki. Kemudian mulai mendalami lagi dari mereka yang
sudah merasakan Indonesia secara (hampir) keseluruhan. Melihat mereka pun
berubah menjadi seorang yang tidak sepenuhnya baru, namun pada akhirnya
tersadarkan akan kecintaan mereka terhadap Indonesia. Kini mereka tersadar
betapa penuh cinta mereka pada negeri ini, bangsa ini. Pula dengan diriku. Jika
ada pertanyaan mengapa maka dengan percaya diri saya akan bilang,
“Kini tidak pernah ada alasan spesifik untuk mencintai
Indonesia. Saya hanya mencintainya saja. Karena memang seharusnya begitu dan
memang ia sepantasnya dicintai. Tak perlu syarat. Hingga tak ada pula syarat
untuk tidak mencintainya”
Ya, Indonesia pantas dicintai. Indonesia pantas dibanggakan.
Indonesia pantas pula diperjuangkan. Bukan hanya satu, tapi ribuan atau mungkin
ratusan ribu jiwa sudah berkorban demi negeri ini. Saya rasa memalukan bagi
yang masih hidup untuk tenang saja tanpa mencoba merawat apa yang sudah
diperjuangkan. Saya generasi muda, saya cinta Indonesia. Saya generasi muda,
saya punya jiwa nasionalisme. Dan saya tidak malu sama sekali.
Saya pernah melangkah begitu mantap. Memiliki pandangan yang
jelas tentang jalan yang ada di depan. Tentang bagaimana andil saya dalam tubuh
Indonesia ini. Kini, dengan segala yang sudah dan sedang terjadi, langkah itu
semakin lemah dan pelan. Degup kebangsaan ini semakin tak keruan. Linglung.
Entah mau dibawa kemana aliran energinya. Seperti melihat kelambu hitam setelah
berjalan di titian cahaya. Cita-cita saya yang tadinya begitu jelas kini
menjadi semakin kabur. Pula semakin berat dirasa untuk dijinjing. Kalut tak
habis menyelimuti. Mau diapakan mimpi ini? Mau dibagaimanakan negeri ini?
Bagaimana bisa? Inilah cara Tuhan bekerja yang tak perlu kau singgung bagaimana bisa. Ia pertemukan saya pada ciptanNya yang lain. Yang tak lain adalah orang-orang terdekat saya. Yang masih mempunyai cinta dan harapan bagi negeri ini. Lewat sumbang pikir mereka, titian cahaya itu kembali terang. Perlahan tetapi pasti. Tuhan tengah bekerja menempa saya menjadi kaki atau mungkin tangan atau mungkin kepala dari negeri elok ini. Dan saya siap untuk itu.
NB: Tulisan ini merupakan gabungan dari dua tulisan terpisah. Bagian pertama di tulis awal 2017 dan bagian kedua di tulis medio 2017. Entah bagaimana keduanya bersahutan dalam nafas yang sama. Jadi, saya gabungkan sekarang. Bahagian kedua awalnya diperuntukkan Hari Jadi Pancasila pada 1 Juni yang lalu. Ini tulisan pertama saya yang 'serius'. Selamat menikmati. Mohon maaf kalau masih ada yang belum akurat dan kurang ;)